Kamis, 29 Juni 2017

Terberat

Kupikir dia mencintaiku begitu besar. Nyatanya semua hanya sekadar cinta belaka yang pupus setelah dia memilikiku.
Baru terlihat ketika kami akan menyambut kelahiran buah hatiku (kusebut kukrn mgkn dia tak peduli pada anaknya).
Sebesar apa kasihnya aku tak tau. Yang kutau saat aku berjuang melahirkannya ke dunia, dia masih sempat meninggalkanku di rumah sakit. Padahal aku ungin sekali seperti tmn2ku yang suaminya dengan setia menunggui mereka melahirkan tanpa meninggalkan istrinya sedetik pun.
Kupikir dia akan mengalahkan rasa takutnya, demi menemaniku berjuang menghadapi persalinan, spt yang selalu dibicarakan teman2ku ttg suamui mereka.
Tidak, semua anganku telah pupus.
Aku seolah berjuang seorang diri menahan rasa sakit.
Dan perjuanganku menahan rasa sakit tak cukup sampai di situ.
Aku harus berjuang menahan sakit bekas operasiku yang msh belum kering dan mengurus anakku seorang diri.
Dia seolah tak peduli padaku dan anakku. Tak sekali pun dia
Yang bertanya bagaimana keadaanku? Bagaimana perasaanku? Yang dia pedulikan hanya mencari segenggam uang. Kami tak butuh uangnya. Setelah dia mencari uang dia akan mengeluh padaku. Apa hanya dia yang oleh mengeluh? Apakah aku harus menyimpan semua keluhanku?
Oh Tuhaaann.. Sanggupkah aku melalui ini semua? Baru bbrp hari berjalan sejak Kau titipkan hadiah terindahMu utkku. Tapi mampukah aku membesarkannya hanya seorang diri tanpa campur tangan papanya?
Yang aku butuhkan dia peduli, perhatian pada kami.
Apa dia tau rasa sakit yang kurasakan? Apa dia mengalami ini semua? Sampai bekas operasiku berdarah lagi pun dia tak peduli. Apakah dia berpikir aku ini robot yang mampu melakukan semuanya seorang diri?
Belum cukupkah 9 bln kurasakan kehamilan yang harus kubiasakan tanpa dia dan harus kujalankan kemandirian yang dikatakannya?
Yang kuharapkan hanyalah perhatiannya, inisiatifnya membantuku.
Tangis anaknya saja tak dapat membangunkannya. Wajah letihku tak dihiraukannya, bahkan diejeknya krn aku tak sempat berdandan untuknya. Oh Tuhan, mamukah aku melewati ini semua? Setelah semua yang telah kukorbankan untuknya? Bahkan janjinya untuk mandiri dan meninggalkan kota yang sangat kubenci ini pun belum tentu diingatnya. Padahal dulu sewaktu dia mengejarku, setiap dia ingat, bahkan hal sekecil apapun diingatnya. Sudah habiskah rasanya dulu padaku sekarang Bapa? Apakah aku tak seberharga dulu? Ataukah aku hanya obsesinya belaka yang setelah disptkannya tak begitu penting lg?
Di tengah sakitku dan capekku dia seolah tak peduli. Mgkn klo saatvitu aku berakhir di meja operasi pun dia tak akan peduli. Mengapa aku tak pernah merasakan bahagia Tuhan? Memang tak layakkah aku emperoleh bahagia utuh?
Apakah sejak dulu sudah Kau takdirkan hidupku hanya seputar kesedihan dan kesendirian?
Apakah aku yang salah melangkah? Karena bahkan dia membawaku menjauh dariMu. Dia tak pernah membawaku ke rumahMu dengan segala macam alasan? Mampukah dia menjadi kepala keluarga yg seperti kuharapkan?
Oh Tuhan, jika ini memang takdirku, aku pasrah dengan semua kesedihan yang akan kuterima ini.