Selasa, 20 Maret 2012

Terbaik Untukku

Malam begitu larut tapi aku tak jua memejamkan mata. Begitu banyak masalah yang membuatku tak dapat memejamkan mata ini. Perasaan sedih meliputiku. Kutatap kosong meja yang ada di depan ranjangku, tiba-tiba aku melihat sebuah kotak yang sudah lama tak kubuka. Kuberanjak dari ranjangku mengambil kotak itu lalu kubuka kotak itu dan kukeluarkan satu per satu isinya. Sejenak aku berhenti ketika menemukan sebuah album foto berwarna biru. Kubuka album itu dan kuterpaku melihat isinya. Sudah lama aku tak melihat album ini, album yang berisi kenangan masa remajaku. Kupandangi foto itu satu per satu, teringat semua masa-masa indah yang dulu kulalui. Masa yang tak akan pernah kulupakan. Masa dimana aku bertumbuh menjadi lebih baik. Masa yang kulalui bersama sahabat-sahabatku.
Sejenak kuterdiam, ketika melihat sebuah foto dan tiba-tiba setetes air mata jatuh membasahi foto itu, kuhapus air mataku dari foto itu, kupejamkan mataku berusaha melupakannya sejenak, lalu membuka kembali album itu. Senyum, tawa menyertaiku saat melihat-lihat isi album itu. Kemudian sampailah aku pada halaman terakhir dari album itu, kulihat sebuah foto seorang gadis berambut pendek sedang memegang sebuah bola basket. Saat itu tangisku pun tak terbendung lagi. Foto itu mengingatkan aku pada sahabatku yang kini tak kuketahui keberadaannya. Aku sangat merindukannya, sahabat-sahabat terbaikku kini telah pergi meninggalkanku. Kini bayangan masa laluku kembali terlintas dikepalaku.

Ayu, sahabatku sejak SD. Orang yang selalu ada di sisiku dan selalu memberiku semangat dan motivasi. Ia jugalah yang telah membantu aku melewati masa-masa sulitku saat aku harus kehilangan orang yang paling aku sayangi.
“Fi…yang tabah ya” ucapnya saat itu. Aku memang membutuhkan seorang teman untuk mengobati kesedihanku kehilangan seorang mama di usiaku yang masih sangat belia.
“Makasi ya Yu, kamu mau menemaniku.”
“Aku akan tetap menemenimu sampai kapanpun.”
“Jangan pernah berhenti jadi sahabatku ya” pintaku.
“Aku akan tetap jadi sahabatmu Fi. Aku nggak akan meninggalkanmu” katanya sambil memelukku dengan erat.

Saat kelas 5 SD, aku mendengar kabar bahwa Ayu akan pindah. Saat itu aku sangat kecewa hingga tak bersemangat untuk datang ke sekolah. Namun saat sampai di kelas, aku melihat Ayu duduk manis di bangkunya. Aku sangat gembira dan saat itu juga aku berlari untuk memeluknya.
“Ayuuu,,, kok kamu ada di sini? Bukannya kamu harus pindah ke Binjai?” tanyaku.
“Iya mama bilang tanggung setahun lagi, jadi lebih baik aku pindahnya tahun depan saja” jawabnya.
Mendengar hal itu raut wajahku pun berubah menjadi sedih, tapi Ayu menghiburku.
“Sudah jangan sedih, kita masih punya setahun lagi loh” katanya “ kita habisi setahun ini dengan senang-senang. Ok?”
“Baiklah, no problem” kataku sambil merangkulnya.

Kami jalani hari-hari kami dengan penuh canda dan tawa. Tak pernah sekalipun Ayu lepas dariku begitu juga sebaliknya. Di sekolah kami sering dibilang anak kembar, kemana-mana selalu bersama. Katanya “dimana ada Ayu pasti ada Fifi, dimana ada Fifi pasti ada Ayu”. Hari-hari itu begitu menyenangkan bagiku, hingga akhirnya aku menerima kabar bahwa papaku akan menikah lagi. Aku, kakak dan juga abangku bersih keras menolak rencana ini. Apalagi mama baru satu tahun meninggalkan kami. Aku berpikir “Menagapa papa begitu cepat melupakan mama? Apakah ia sudah tak mencintai mama lagi?”, tapi Ayu menyadarkanku.
“Fi, kamu nggak boleh gitu dong. Ini juga demi kebaikkan kamu bukan hanya untuk papamu saja”
“Tapi,,kenapa harus secepat ini Yu? Apa papa sudah tak sayang lagi pada mama?”
“Fi, ingat mamamu sudah pergi dan tak akan kembali lagi. Papamu tak perlu bersedih teruskan untuk mengingat mamamu? Mungkin aja dia tetap menyayangi almarhum mama kamu meskipun dia nggak bilang sama kamu” katanya “mamamu akan tetap ada di dalam hati papamu. Aku yakin papamu takkan melupakan mamamu.”
“Apa itu benar Yu?” tanyaku padanya.
“Aku yakin itu benar” jawabnya “cinta sejati tak akan pernah hilangkan? Lagian selama ini kesetiaan papamu sudah sangat terbukti, dia mau menemani mamamu melawan penyakitnya sampai akhir hayat. Iyakan?”
Itu adalah kata-kata terindah yang pernah Ayu katakana padaku. Dia memang selalu bisa menenangkan hatiku yang sedang galau, dia selalu sabar menghadapiku.

Hari-hari begitu cepat berlalu. Ingin rasanya aku menghentikan waktu untuk tidak berjalan, tapi itu tak akan mungkin terjadi. Akhirnya kami pun akan tamat dari SD dan itu merupakan satu pertanda bahwa Ayu akan meninggalkanku.
“Yu, kamu mau pindah ke mana sih?” tanyaku.
“Aku harus ikut papaku pindah ke Binjai karena papaku dipindah tugaskan ke sana” jawabnya.
“Apa kamu harus ikut?”
“Ya iyalah Fi. Nggak mungkinkan aku tinggal di sini sendiri.”
“Kamukan bisa tinggal bersamaku” jawabku sambil menatapnya. Tak terasa air mataku pun menetes. Ayu datang menghampiriku dan memelukku.
“Nggak bisa gitu dong Fi, nanti aku merepotkan kalian. Lagian mama dan papa nggak akan mengizinkanku” jawabnya “jangan bersedih aku takkan melupakanmu.”
Tangisku pun semakin menjadi, aku tak dapat membayangkan bagaimana aku harus bertahan tanpa nasehatnya. Karena tak tahan akan perpisahan itu, aku pun tak datang untuk mengantarkannya. Kesedihan itu pun membuatku merasa bodoh karena tak sempat menanyakan alamatnya di Binjai.

Beberapa hari setelah kepergiannya aku terus melamun dan kehilangan semangat hidup.aku terus menyalahkan diri sendiri “Mengapa aku tak menanyakan alamatnya? Mengapa?” tanyaku “dasar idiot! Aku sungguh bodoh! Bodoh!” itulah pernyataan yang selalu terlontar dari mulutku. Seperti pungguk merindukan bulan aku mengharapkan kehadirannya di depanku. Aku berharap Ayu akan datang menemuiku. Tapi itu tak mungkin terjadi karena aku tahu Ayu tak akan menemukan rumah baruku. Aku belum sempat mengajaknya ke tempat tinggalku yang sekarang.
Mau tak mau, aku pun harus menjalani hariku kembali. Meskipun kini aku harus berjalan pincang sebab Ayu tak bersamaku lagi. Aku tak dapat melupakannya, tanpanya aku tak dapat menyelesaikan permasalahanku sendiri. Aku membutuhkannya seperti seorang pasien membutuhkan obatnya agar memperoleh kesembuhan. Hari-hari yang kulewati tak seindah dulu hingga akhirnya aku bertemu dengan Esti, teman baruku di SMP. Aku mulai dekat dengan Esti saat duduk di kelas 2 SMP. Ya…meskipun kami tidak sekelas, tapi kami bisa bergaul dengan akrab. Hal ini disebabkan karena kami sama-sama memiliki masalah dengan seorang guru di sekolah itu. Saat itu aku mendengar kabar bahwa dia memaki guru itu karena jengkel terhadap sikapnya.
“Hei Es, benar nggak sih? Katanya kamu memaki “si Gila” itu?” tanyaku. Ya kami memang memberi julukan guru itu dengan nama “ si Gila” karena dia benar-benar membuat kami pusing akan sikapnya yang tak menentu.
“Ya, habis aku kesel banget ama dia” cerocosnya “masa hanya karena nggak ngumpul catatan nggak boleh ikut ujian. Ya udah aku lempar aja itu buku ke depan mukanya waktu dia menyuruhku mengumpulkan catatanku.”
“Nekad juga kamu” jawabku “tapi bagus juga sih, dia memang harus dikasih pelajaran biar nggak sombong lagi. Aku juga punya masalah sama dia.”
“Masa sih?” tanyanya “bukannya kamu murid kesayangannya ya?”
“Iya. Kemarin dia menuduh aku yang membuat keributan di kelas. Padahal aku sama sekali nggak ada membuat keributan loh.”
“Trus kamu bilang apa?”
“Yah, aku marah-marah. Aku bilang bukan aku yang membuat keributan. Eh, dia nggak percaya. Ya udah, aku langsung melempar semua buku-buku trus aku langsung tidur aja.”
“WAH…keren tuh.”
Karena percakapan itulah aku mulai menjalin pertemanan dengan Esti. Sedikit demi sedikit aku mulai bisa menerima kepergian Ayu.

Kelas 3 SMP aku dan Esti pun masuk ke dalam kelas yang sama. Setiap pelajaran guru yang kami benci itu, kami selalu mengobrol karena kebetulan kami mendapatkan tempat duduk yang berdekatan. Meskipun setiap guru itu menerangkan kami tidak pernah mendengarkan, kami tetap mendapat nilai bgus dalam mata pelajaran yang diajarkannya. Hari demi hari kami lewati bersama, meskipun kami tidak hanya berdua saja. Kami membentuk gank cewek yang beranggotakan empat orang, aku, Esti, Tina dan Juni. Kami berempat selalu membuat suasana menjadi ramai dan hidup kembali. Gank kami banyak disukai oleh adik-adik kelas karena kami tidak pernah mempeributkan masalah senioritas. Kami berempat selalu ceria dan penuh dengan canda tawa. Kami saling berbagi cerita dan pengalaman. Aku merupakan sahabat terdekat Esti. Aku selalu mengingatkannya jika dia mulai kehilangan kontrol emosinya. Begitu juga Esti dia selalu mau mendengarkan keluh kesahku.
“Es, aku lagi bingung nih” ucapku.
“Memangnya kamu kenapa? Kamu lagi ada masalah ya?” tanyanya.
“Ya, aku lagi bimbang nih.”
“Saol apa sih? Kamu cerita aja kepadaku. Aku pasti akan membantumu mencari jalan keluarnya.”
“Aku lagi suka sama cowok, tapi cowok itu cuek banget sama aku dan sepertinya dia sangat membenciku” ujarku pelan.
“Aku tahu siapa cowok yang kamu maksudkan” katanya padaku. Sontak aku langsung menoleh padanya sambil mengernyitkan dahi seolah bertanya “dari mana kamu tahu?”
“Aku bisa lihat sikapmu terhadapnya, pandangan matamu beda banget kalau lagi melihatnya” jawabnya seolah tahu apa yang akan aku tanyakan.
“Memangnya siapa cowok yang lagi aku sukai?” tanyaku mengujinya.
“Dia, Ridokan?” jawabnya. Aku kaget sekali ketika Esti mengatakannya.
“Udah deh, kamu nggak perlu mikirin dia lagi. Dia memang orang yang aneh. Lebih baik kamu lupakan saja dia untuk sementara waktu. Sebentar lagi ujian loh. Nanti kamu nggak lulus lagi hanya karena mikiri dia.”
Itulah nasehat yang kuterima darinya. Kata-kata yang tak kusangka akan terucap oleh seorang Esti yang terkenal sebagai cewek paling cuke di kelas. Akhirnya aku mengikuti sarannya dan menjalani hari-hari seperti biasanya lagi.

Ujian akhirnya pun usai. Kami merayakannya dengan asyik berpesta di rumah Juni. Mungkin kami tak akan bersama lagi. Aku dan Juni berniat pindah dari sekolah itu sementara Esti dan Tina akan tetap melanjutkan di sekolah itu. Awalnya sedih harus berpisah dengan sahabatku lagi, tapi kami tetap menjalaninya. Buktinya kami masih tetap berhubungan dan sering jalan bareng. Kami juga masih bisa merayakan ulang tahunku dan Esti, yang kebetulan jatuh di bulan yang sama. Tapi mungkin itulah terakhir kalinya kami berjalan bersama. Tanpa sebab yang pasti Esti marah padaku dan tak mau bertemu denganku lagi.
“Fi, ini buku kamu” kata Tina saat aku datang ke sekolahnya.
“Loh Esti mana?” tanyaku saat menyadari Esti tak ada “tumben tuh anak. Biasanya kalau aku datang ke sini dia selalu menyambutku.”
“Nggak tahu, tadi dia marah-marah dan bilang jangan pernah nelpon, nge-sms, dan cari dia lagi” jawab Tina. Aku kaget mendengarnya.
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Katanya kamu jelek-jeleki dia di belakang” jawabnya.
“Apa? Sejak kapan? Siapa yang bilang? Sumpah aku nggak pernah jelek-jeleki dia yang ada aku selalu memujinya di depan teman-temanku.”
“Aku nggak taulah Fi, dia bilang seperti itu tadi.” Jawabnya lalau meninggalkanku.

Aku tak tahu harus bagaimana. Aku bingung dengan semua ini, aku nggak pernah melakukan hal yang dituduhkannya. Aku berusaha untuk meminta maaf, tapi dia terus menghindar. Mungkin ada yang mau merusak hubunganku dengannya. Tapi aku nggak tau untuk apa? Kenapa ada yang tega merusak persahabatan kami? Aku pun menulis sebuah surat untuknya dan membahas semua hal yang pernah kami jalani. Aku juga menagih semua janji-janjinya padaku. Aku juga mengatakan “kita berteman baik-baik maka berpisah pun harus dengan jalan baik-baik juga”. Tapi dia hanya menjawab: “semua yang kamu bilang itu benar Fi, lebih baik kita anggap saja persahabatan kita tak pernah ada dan lupakan saja semua perkataanku dulu. Anggap kita tak pernah bertemu.” Itulah kata-kata terakhir yang diucapkannya padaku. Hatiku teriris, pedih. Sungguh pedih rasanya saat membaca tulisan itu. Kini aku kembali merasakan kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupku. Sahabatku kini telah pergi lagi, meninggalkanku dalam luka hati yang mendalam.

Sekarang kuhanya sendiri meratapi foto-foto kenangan masa laluku. Masa-masa yang kulalui bersama sahabat-sahabatku. Meski kini mereka tak lagi bersamaku dan menganggapku sebagai sahabat mereka, aku akan tetap ingat bahwa aku pernah mengenal mereka. Kini aku harus terus melangkah menjalani hidup ini. Aku harus berusaha tegar dan mampu menyelesaikan persoalanku sendiri. Aku tak mau lagi menggantungkan hidupku pada orang lain. Sebab aku tak mau lagi terluka akibat kehilangan. Meski kini aku memiliki banyak teman, tapi aku tak akan pernah bergantung pada mereka dan menganggap mereka sahabatku. Rasanya ada trauma yang selalu menghantuiku. Aku takut untuk memulai kembali hubungan persahabatan dengan orang lain. Lebih baik kujalani hariku dalam kesendirian hingga luka di hatiku dapat terobati oleh waktu. Mungkin ini yang terbaik untukku. Suatu saat nanti, jika Tuhan menghendaki maka aku akan mendapatkan seseorang yang dengan tulus mau menjadi sahabatku. Sebab Dia tahu yang terbaik untukku.

by. Fitri Meylina